Sejarah Gereja Santo Petrus
Kehadiran umat Katolik di Bali Barat tidak terlepas dari peranan penting misionaris Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah. Tercatat sejak tahun 1935 telah dibaptis umat perdana diParoki Gumbrih disusul Palasari. Mereka semua adalah transmigran local dari Babakan, Tuka, Tangeb dan sekitarnya yang hijrah ke Jembrana dimotori Pastor Simon Bois, SVD (1940-1950). Saat itu belum ditemukan manuskrip tentang keberadaan umat Katolik dan karya Pastoral di Kota Negara.
Sejatinya karya Pastoral dan simpatisan Katolik di Kota Negara sudah ada sejak tahun 1940-an. Para simpatisan ini berasal dari keluarga etnis Tionghoa yang memiliki usaha dagang atau toko di Kota Negara. Perkenalan para saudagar ini dengan Kekristenan dimulai ketika melakukan hubungan dagang dengan para mitra usahanya di Surabaya, Malang, Semarang, Jakarta dan Makassar. Namun karena situasi social dan politik waktu itu tidak memungkinkan, baru pada tahun 1963, penganut atau lebih tepat disebut simpatisan Katolik dari etnis Tionghoamulai ikut berkarya dalam penyebaran Agama Katolik di Kota Negara.
Kota Negara yang terletak sekitar 100 Kilometer dari kota Denpasar, Provinsi Bali sekitar tahun 1960 merupakan sebuah kota kecil dan sepi, meski sudah berstatus Ibu Kota Kabupaten Jembrana, Keberadaan paroki di Kota Negara dengan pelindung Santo Petrus sangat erat kaitannya dengan Paroki Hati Kudus Yesus Palasari. Cikal bakal berdirinya Paroki Santo Petrus Negara bermula dari kunjungan Pastor Bernerdus Blanken, SVD seorang misionaris Belanda yang bertugas sebagai Pastor Paroki Hati Kudus Yesus Palasari sejak tahun 1948. Kunjungan Pastor Blanken ke kota Negara tahun 1958 sebetulnya hanya untuk berbelanja, urusan surat menyurat, pemerintahan serta menjajagi pengembangan karya misi dikota ini. Namun ia tidak menemukan data keberadaan umat Katolik di kota itu. Pastor Blanken harus menunggu selama dua tahun untuk bias memulai karya misinya di Kota Negara. Tahun 1960, ditemukan dua orang pendatang beragama Katolik yang bertugas dan menetap di kota Negara. Menurut Ibu Agustina Nengah Marni, Istri Martinus Wangge (Alm) yang masih hidup hingga sekarang, Martinus Wangge adalah orang Katolik pertama yang menetap di Negara sejak tahun 1959. Ia ditempatkan di Negara sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Dinas Perikanan Jembrana. Namun perjumpaan dengan Romo Blanken baru terjadi tahun 1960 bersama seorang anggota Kompi C waktu itu, Alo Blaan.
Menurut Ibu Agustina Wangge (Foto disamping tampak kekinian Oma Agustin dan masih aktif ke Gereja sampai sekarang), Pastor Blanken semakin intens mengunjungi Kota Negara sejak pertemuan itu. Mereka sering dijemput Pastor Blanken menggunakan mobilnya untuk merayakan ekaristi di Palasari. Kunjungan in imakin intens dilakukan setelah tahun 1962 jumlah umat Katolik bertambah menjadi tujuh orang. Pertambahan umat terjadi menyusul kedatangan Yance Daniel Pengan , Bobi Rumagit, Weli Katopo, Simon Tek Alu dan Derek Wowor yang semuanya anggota Kompi C ke Kota Negara. Kehadiran mereka disusul kedatangan Kepala Kantor PU Kabupaten Jembrana, Soewito dan Pak Walong dalam lingkungan umat Katolik di Kota Negara tahun 1962 lalu. Lantaran kondisi jalan Palasari-Negara masih buruk, jadwal misa Kudus untuk umat Katolik di Kota Negara hanya dilangsungkan dua minggu sekalo. Ekaristi dirayakan di Asrama Kompi C dan akadang-kadang dirumah dinas Soewito. Dalam karya pewartaan ke Negara, Pastor Blanken ditemani Gereatdus Mayela Sukartia (Alm-meninggal awal tahun ini). Tahun 1963, umat bertambah lagi menyusul kedatangan anggota Kompi C, Letnan Soebardi, Agustinus Ketut Suarka, Johan Vandyk dan Yohanes Berchmans Sardi. Ketiganya dari anggota kepolisian.
Ada yang dating dan adajuga yang harus pergi. Kadis PU, Soewito dan beberapa orang anggota Kompi C pindah tugas ke tempat lain. Kepindahan Soewito ke Denpasar menyebabkan tempat pelayanan Misa yang biasa dilangsungkan di kantor dinas PU, Jl. Udayana ata Koperasi Karyawan Telkom sekarang tertutup. Perayaan Ekaristi dipindah ke Losmen Indraloka. Kegiatan ini berlangsung selama setahun (1963-1964) setiap minggu berkat bantuan Letnan Soebardi yang menempati losmen tersebut setelah disewa tentara sebagai asrama dan tentunya atas izin pemilik, orang tua Suhaeri.
Gereja Perdana yang Inklusif
Hasil wawancara dengan aktivis rohani dan saksi hidup saat itu, Yance Daniel Pengan (Foto disamping : Pa Pendan bersama Pastor Paroki, Rm Eman, saat sebelum paskah 2017. Beliau memberikan 2 anakan advokat sebagai tanda cintanya untuk Gereja St. Petrus yang memaknai Paskah tahun ini dengan tema : “Keluarga berwawasan Ekologis”), Jumlah umat yang makin bertumbuh mendorong Yanve Daniel Pengan bekerjasama dengan 26 orang tentara beragama Protestan menggelar perayaan Natal Oikumene tahun 1963 di Balai Masyarakat atau TK Pertiwi sekarang. Meski jumlah umat masih bias dihitung dengan jari, mereka berani tampil dihadapan para undangan nonKristen.
Kegiatan ini bertujuan memproklamirkan keberadaan umat Kristen (Katolik dan Protestan) di Jembrana, khususnya Kota Negara. Kesempatan emas ini digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai Injil baik kepada masyarakat, pemerintah maupun tokoh usahawan etnis Tionghoa seperti Wirata Bisma, Om Heng, Pak Oka, Bin Coan, dll. Perayaan Natal dipimpin Pendeta Astawa dari Gereja Protestan dan dimeriahkan tarian serta lagu-lagu rohani yang memukau undangan. Rupanya kesan positif yang ditangkap para inisiator perayaan Natal Oikumene sebelumnya, mendorong Yance Pengan dan teman-temannya kembali menyelenggarakan perayaan Natal Oikumene tahun 1964. Kali ini Natal bersama diselenggarakan di Negara Teater yang dimeriahkan pentas seni, puisi, lagu dan tarian. Tidak lupa drama Natal yang memukau para undangan nonKristen.
Ibadat dipimpin Pendeta Astawa, sementara kotbah dibawakan Romo Blanken yang tahun sebelumnya hanya hadir sebagai peserta. Dalam renungan Natal di hadapan undangan yang mayoritas beragama nonkristen, Romo Blanken memikat hati undangan dengan kotbah dalam Bahasa Bali halus. Sebuah sajian istimewa karena seorang misionaris Belanda secara fasih mengabarkan Injil Tuhan menggunakan Bahasa Bali halus. Atas berkat Tuhan dan Karya Roh Kudus, perayaan Natal bersama ini membawa dampak luar biasa. Setelah perayaan ini, sejumlah pengusaha Tionghoa akhirnya memilih memeluk Agama Katolik, seperti Lin Siu (Wirata Bisma) pemilik Toko Sinar Rahayu. Kalau pun tidak menjadi Katolik, beberaa pengusaha keturunan ini mengizinkan anak-anak mereka mengabdi kepada Tuhan Yesus dalam Gereja Katolik. Sebut saja Lie Ki Un pemilik Negara Teater yang di gunakan sebagai tempat perayaan Natal Bersama tahun 1964, mengizinkan anaknya Ir. Sugiarta menjadi pengikut Kristus. Demikian juga Bin Coan memberikan anak-anaknya menjadi Katolik seperti Lie Siang dan Gun ce. Hal yang sama juga dilakukan Budi Santosa terhadap anak-anaknya.
Warga keturunan lainnya yang juga bereran mendorong pertumbuhan iman Katolik di Kota Negara antara lain Go Su Lun, orangtua Nandra Wijaya, Wi Bin Cai yang dikenal sebagai ayah Dokter Wijaya Setiabudi. Tokoh lain adalah pemilik Toko Wong, Heri Prasetia, Kian HIn, orangtua Henri Oka dan Om Heng yang anak-anaknya kini berkarya di Jakarta. Perayaan Natal bersama besutan tentara Katolik dan Protestan ini tidak hanya menyuburkan panggilan, tetapi juga merupakan media sosialisasi dan afirmasi eksistensi warga Kristen (Katolik dan Protestan) minoritas di Jembrana. Momen ini juga menunjukan bahwa Agama Katolik dan Protestan bukan keyakinan yang eksklusif melainkan sebuah ajaran keselamatan kekal yang bersifat universal dan inklusif. Momen ini juga menjadi modal social untuk mempermudah proses perizinan dalam karya pastoral Katolik di Kota Negara selanjutnya.
Tahun 1964, Letnan soebardi pindah tugas ke tempat lain. Namun pada saat yang sama Tuhan mengutus Aloyisius Suhardi bersama keluarga bergabung dengan umat Katolik di Kota Negara. Ia mendapat tugas sebagai Kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan) Negara. Rupanya Tuhan tetap memelihara umat-Nya agar terus bertumbuh di atas wadas Santo Petrus. Pasca kepindahan Letnan Soebardi, tempat ekaristi berpindah dari Losmen Indraloka ke Rumah dinas Aloyisius Suhardi dan dilaksanakan setiap minggu. Menurut catatan harian GM Sukartia, pada masa Aloyisius Soehardi mendapat tugas sebagai kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan) di Negara, tempat perayaan ekaristi berpindah ke penjara yang berlokasi di depan Kantor Koprasi Pegawai Telkom di Jalan Wijaya Kusuma sekarang. Bangunan lama ini sudah dirobohkan. Saat itu perayaan ekaristi diadakan seminggu sekali.
Bertumbuh Pesat dalam Prahara
Prahara datang saat pecah peristiwa G-30 S PKI tahun 1965. Saat itu jumlah umat Katolik di Kota Negara sudah bertambah menjadi 15 orang. Tetapi kegiatan Pastor Blanker untuk sementara harus berhenti karena terjadi chaos menyusul gerakan tersebut. Sejumlah took PKI di tangkap dan harta miliknya disita pihak keamanan. Termasuk beberapa aset milik anggota Puri Negara. Namun prahara ini justru membawa berkat melimpah bagi umat Katolik di Negara. Atas bantuan Letnan Safroni, Komandan Kompi C yang kemudian menjadi Bupati Jembrana, tahun 1966 Pastor Blanken membeli dia bidang tanah beserta rumahnya di deoan Puri Negara. Rumah di sebelah timur di rombak menjadi gereja kecil oleh Br. Ignasius Devries, SVD dibantu seorang kontraktor asal Palasari, Gusti Putu Supardi. Sedangkan rumah di sebelah barat direnovasi menjadi pastoran.
Pembangunan gereja yang mulai dilakukan Maret tahun 1966, baru selesai dikerjakan Juni tahun 1967. Gereja pertama di Kota Negara ini diberkati Uskup Denpasar, Mgr. Dr. Paulus Sani Kleden, SVD tanggal 29 Juni 1967 dengan pelindung Santo Petrus. Pemberkatan gerung gereja dilakukan bertepatan dengan pesta Santo Petrus dan Paulus. Untuk menjaga dan memelihara gereja dipercayakan kepada keluarga Gerardus Mayela Sukertia. Saat itu jumlah umat sudah bertambah menjadi 25 orang. Karena sudah ada pastoran dan gereja, Pastor Blanken melayani perayaan ekaristi bagi umat di Kota Negara menjadi dua kali seminggu, setiap Kamis dan Minggu.
Tanggal 29 Juni 1967 dijadikan patokan kehadiran Gereja Katolik di Negara yang memilih pelindung Santo Petrus. Dengan catatan tersebut, sangat pantas jika Umat Katolik Negara yang saan ini berjumlah sekitar 800-an jiwa, merasa sangat bersyukur atas tahun emas yang dianugerahkan Tuhan. Sebab jumlah umat saat peresmian gereja pertama yang hanya 25 orang, kini bertumbuh pesat menjadi hampir ribuan orang. Tidak hanya pembangunan gereja perdana yang menandai sukses penyebaran Agama Katolik di Kota Negara. Perkembangan berarti juga diraih gereja perdana dengan pelayanan sakramenperkawinan. Pasangan Martinus Wangge dan Agustina Nengah Marni menjadi pasangan pertama menetap di Kota Negara yang menikah secara Katolik tahun 1964. Setelah itu menyusul pasangan Yance Daniel Pengan dengan Teresia Maria Ni Ketut Suandi tanggal 6 Maret 1966. Meski kedua pasangan ini menikah di Gereja Hati Kudus Yesus Palasari, keberadaan mereka sebagai keluarga memberi dasar yang kokoh terhadap perkembangan Gereja Katolik secara umum di Kota Negara.
Karya pastoral di Kota Negara semakin tertara menyusul kehadiran tiga orang suster dari Ordo Santo Fransiskus (OSF) tahun 1974. Suster Sabina, Suster Vicenti dan Suster Raphaela pertama kali menempati pastoran menggantikan GM Sukartia yang pindah kerumahnya di Satria. Kehadiran ketiga biarawati ini sangat membantu pelayanan pastoral. Rumah tangga pastoran, koster dan liturgy dijalankan sepenuhnya oleh mereka. Termasuk pembinaan sekolah minggu hingga pertengahan tahun 1976. Gempa bumi menyebabkan gedung gereja mengalami kerusakan cukup parah. Ketiga suster ini kemudian pindah ke rumah yang di sewa Budi Santoso, seorang simpatisan Gereja Katolik. Kegiatan pelayanan ekaristi untuk sementara juga diadakan di rumah ini. Masa penantian berlangsung hingga tahun 1979 saat berdiri Klinik Kertayasa. Ketiga suster ini kemudian pindah ke biara dalam kompleks Klinik di jalan Kartini, Dauhwaru sekarang.
Tahun 1970, Pastor Blanken dipindahkan ke Denpasar menggantikan Pastor J. Heijne, SVD yang dipindahkan ke Surabaya karena dipercaya sebagai Pastor Regional SVD. Pastor Blanken yang menghadiri Sidang Cipatol di Roma tahun itu menderita serangan jantung. Sejak itu Pator Blanken tidak kembali lagi ke Indonesia. Pastor Bernardus Blanken, SVD digantikan Pastor Paulus Boli Lamak, SVD sebagai Pastor Paroki Hati Kudus Yesus Palasari. Pastor ini hanya bertugas setahun di Palasari dan dipindahkan kembali ke Denpasar tahun 1971. Sebagai penggantinya dikirim Pastor Servatius Subagha, SVD yang berkarya sampai tahun 1973 sebelum dipindahkan ke Yogyakarta dan digantikan Pastor Heribert Ballhorn, SVD bersamaan dengan kedatangan Pastor Heribert Ballhorn, SVD ke Palasari, Quasi Paroki Santo Petrus Negara diambil-alih oleh Pastor Agustinus de Boer, SVD yang dipercaya sebagai Pastor Paroki Santa Maria Ratu Gumbrih. Tahun 1974 Pastor Agustinus de Boer, SVD dipindahkan ke Surabaya dan digantikan dengan Pastor Yoseh Flaska, SVD yang juga melayani umat di Stasi Santo Petrus Negara.
Tahun 1974, Pastor Heribert Ballhorn, SVD yang sudah setahun bertugas di Paroki Hati Kudus Yesus Palasari mengambil alih tugas di Stasi Santo Petrus Negara. Setahun kemudian terpatnya tanggal 1 Oktober 1975 untuk pertama kalinya dibentuk organisasi gerja dengan nama Dewan Sosial yang dipimpin Gerardus Mayela Sukartia. Perjalanan karya Pastoral di Kota Negara tidak semulus yang diharapkan. Tanggal 14 Juli 1976 terjadi gempa tektonik 5,6 SR yang menghancurkan Kota Negara dan sekitarnya, termasuk gerung gereja yang dibangun dalam keterbatasan. Selama belum ada gereja, pepndopo susteran digunakan sebagai tempat perayaan ekaristi. Namun sekali lagi Tuhan tidak membiarkan umat-Nya terus berjalan dalam keterbatasan. Karena keluarga Budi Santoso yang belum Katolik menawarkan rumah yang dikontrakannya sebagai tempat tinggal para suster dan tempat merayakan ekaristi secara Cuma-Cuma selama Gereja belum dibangun kembali.
Pastor Heribert Wallhorn, SVD tersentuh hatinya melihat kondisi umat Katolik di Negara berusaha mencari bantuan untuk mendirikan gereja baru. Peletakan batu pertama pembangunan gereja baru dilakuka November 1976 dan baru selesai Tahun 1977. Bertepata dengan Hari Raya Pentakosta tahun 1977, Gereja baru tersebut diberkati Uskup Denpasar saat itu, Mgr. Antonius Thyssen, SVD. Gereja ini yang masih berdiri tegak hingga sekarang di Jl. Gatot Subroto No. 1 Negara. Sekitar Juli 1977 Pastor Heribert Ballhorn, SVD mengambil cuti ke Jerman dan untuk sementara Pastor Hendrikus Dori, SVD bertugas di Stasi Santo Petrus Negara. Desember 1997, Pastor Yoseph Flaska, SVD meniggal dunia akibat gangguan lever. Ia digantikan Pastor Heribert Ballhorn, SVD yang baru saja mengambil cuti ke Jerman dan pelayanan umat dipercayakan kepada Pastor Yan Djawa, SVD yang saat itu bertugas di Paroki Hati Kudus Yesus Palasari. Tahun 1988 Pastor Heribert Ballhorn, SVD dipindahkan ke Surabaya. Selanjutnya Paroki Hati Kudus Yesus Palasari dipimpin Pastor Guido Fahik, SVD dibantu Pastor Yoseph Wora, SVD. Mereka mengambil alih pelayanan Quasi Santo Petrus Negara dan Paroki Santa Maria Ratu Gumbrih. Tahun 1991, Pastor Guido Fahik, SVD diangkat menjadi Rektor Pastor SVD sehingga pelayanan di Quasi Santo Petrus dipercayakan kepada Pastor Yoseph Wora, SVD. Kali ini beliau dibantu Pastor Fransiskus Sidok, SVD
Pada masa inilah umat Katolik Negara mulai memikirkan untuk segera memiliki gereja baru yang lebih representatif. Doa umat didengar Tuhan. Lewat tangan Pastor Yoseph Wora, SVD donator asal Jerman, Irmgard Holderberg untuk membangun gedung gereja yang lebih baik. Proses pembangunan Gedung gereja baru di Jl. Wibisana No. 05 Banjar Tengah, Negara tersebut ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Bupati Jembrana, Ida Bagus Indugosa, SH, pada 30 Maret 1999. Gereja yang dipersembahkan Umat Katolik Negara dan Irmgard Holderberg untuk menghormati Santa Emma dan Santo Theodore. Itu sebabnya gedung gereja yang diresmikan Mgr. Dr. Benyamin Bria, Pr tanggal 8 Oktober 2000 tersebut berpelindung Santa Emma dan Santo Theodore. Tahun 1994 Pastor Frans Sidok, SVD dipindahkan ke Kalimantan Barat dan digantikan dengan Pastor Freddy Dhay, SVD dan disusul kedatangan Pastor Lukas Kilatwono, SVD. Akhirnya tahun 1996 Pastor Lukas Kilatwono, SVD dipindahkan ke Kalimantan Barat. Selanjutnya pada tahun 1997 Pastor Kristianus Ratu, SVD mulai bertugas sebagai pastor rekan di Paroki Hati Kudus Yesus Palasari sampai awal tahun 2000. Beliau kemudian di pindahkan ke Paroki Santa Theresia Tangeb. Sebgaai gantinya datang Rm. Thomas Almasan, Pr Sebagai pastor rekan di Paroki Hati Kudus Yesus Palasari.
Gereja Katolik Santo Petrus Negara baru mendapatkan pastor tetap pada tahun 2000 dengan pastor pertama, Rm. Marcel Gede Myarsa, Pr. Pada masa beliau Gedung Gereja yang mulai dirintis pada tahun 1998 selesai dibangun dan diberkati tanggal 8 Oktober 2000 oleh Mgr. (Alm) Benyamin Yoseph Bria dan diresmikan oleh Plt. Bupati Jembrana, I Ketut Widjana, SH. Setahun usai pemberkatan dan peresmian gedung gereja yang baru, status Quasi Paroki St. Petrus Negara ditingkatkan menjadi Paroki Definif dengan nama Paroki St. Petrus Negara.
Keputusan ini dibutan oleh Bapak Uskup Denpasar, Mgr. (Alm) Benyamin Yoseph Bria, melalui SK No. 08 tahun 2001. Selama menjadi Pastor Paroki, Romo Marsel pernah didampingi RD Yordan Ado, Romo Chritianus Min ISti dan Romo Agustinus Bere Lau. Pada masa pelayanan Rm. Marsel, gedung Pastoran yang ada sekarang juga dibangun. Panitia Pembangunan dibentuk melalui Surat Keputusan Uskup Denpasar, Mrg. Dr. Silvester San, No 250/KDPS/2009, tanggal 28 September 2009. Pemberkatan peletakan batu pertama dilakukan tanggal 16 Februaru 2010 oleh Rm. Marcel, yang pada saat itu juga menjabat sebagai Deken Bali Barat. Total mengabdi di Paroki St. Petrus Negara selama 12 tahun, lalu kemudian dipindah tugaskan ke Seminari Roh Kudus Tuka tanggal 23 September 2012.
Pelayanan terhadap umat Paroki Santo Petrus Negara selanjutnya, tahun 2012-2014 diserahkan kepada Rm. Benediktus Deni Mary, Pr bersama pastor rekan, Rm. Agustinus Bere Lau, Pr. Pada tahun 2014-2015, Rm. Falvianus Endi, yang menjadi pastor Paroki Gumbrih (juga menjadi Deken Bali Barat saat ini), sempat sampai memasuki usia emasnya, Paroki termuda di Kabupaten Jembrana tersebut mendapat pelayanan dari RD. Martinus Emanuel Ano. Imam yang ditahbiskan pada 4 Oktober 2006 di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kuta, yang dipindah-tugaskan dari Paroki St. Yoseph Dompu-NTB pada dua tahun lalu itu, mulai berkarya di Paroki St. Petrus Negara, sejak Mei 2015.
Harapan Umat dalam Pelayanan Non-Sakramen
Selain kehidupan gereja yang terus tumbuh, perkembangan lain dialami umat dalam beberapa aspek. Pelayanan pendidikan misalnya, umat diberikan pilihan untuk menyekolahkan anaknya di TK Maria Fatima, SDK Marsudirini, SMK Marsudirini dan SMK (STM) Marga Ginawe. Selanjutnya harus dipikirkan untuk membangun SMP Katolik. Ini dilakukan agar umat memiliki pilihan dalam menyekolahkan anaknya di bangku SMP seperti halnya jenjang pendidikan lain. Selain dunia pendidikan, perkembangan lain yang menggembirakan dialami umat Katolik Paroki Santo Petrus Negara. Sejak 1 juni 2016 lalu, Konggregasi Suster-Suster Fransiskanes (OSF) juga dipercaya mengelola sebuah rumah sakit umu. Sebelumnya, RSU Kertayasa yang terletak di Kompleks Biara Susteran OSF Negara tersebut hanya berstatus rumah sakit bersalin. Baru pada tahun 2016, statusnya menjadi Rumah Sakit Umum Kertayasa.
Kehadiran beberapa lembaga pendidikan dan rumah sakit Katolik di Negara tersebut diharapkan mampu memberikan motivasi pelayanan lebih baik lagi kepada umat di paroki ini. Pekerjaan rumah harus dipikirkan tidak hanya membangun sebuah SMP Katolik di Negara. Tetapi juga membangun Panti Asuhan Katolik berbasih umat. Selama ini anak-anak Katolik yang mengadu nasib di Negara harus tinggal di panti asuhan milik tetangga kita dari orang-orang Protestan. Resikonya mereka haris kehilangan keyakinan Katolik karena terpaksa meninggalkan iman dan Gereja Katolik lantaran tinggal di panti asuhan yang dikelola umat Protestan.
Belajar Toleransi dari Bumi Mekepung
Banyak orang bertanya-tanya, siapa tokoh di balik Losmen Indaloka yang memberikan izin penuh kepada umat Katolik perdana Kota Negara merayakan ekaristi ditempat ini. Salah satu losmen tertua di Kota Negara ini sejatinya milik seorang penganut Islam taat. Suhaeri adalah saksi sejarah yang istimewa. Karena losmen milik keluarga disewa sebagai asrama oleh tentara yang saat itu dimpimpin Letnan Soebardi, seorang Katolik. Atas inisiatif Letna Soebardi dan izin orangtua Suhaeri, perayaan ekaristi diadakan seminggu sekali tahun 1963-1964 silam. Perkenalkan keluarga Suhaeri dengan Romo Blanken menjadi kenangan terindah bagi Suheri muda. Kenangan ini dibawa Suhaeri yang saat itu duduk di bangku SMA tahun 1963 hingga kuliah di Universitas Jember tahun 1964. Menurutnya, Romo Blanken adalah sosok yang baik hati, ramah dan penuh kasih saying. Kesan mendalam ini kemudian membuatnya memilih tambatan hatinya seorang putri Jember keturunan Tionghoa yang juga penganut Katolik taat.
Suhaeri yang kemudian menjadi Guru SMAN 1 Negara dan menikah pada tahun 1969, ikut membantu gereja mengurusi izin Rumah Sakit Kertayasa ke Jakarta tahun 1975 bersama GM Sukartia yang juga sesame rekan guru di sekolah yang sama. Menikah beda agama tidak menghalangi Suhaeri membantu misi gereja. Baginya, semua kita adalah saudara. Tidak ada perbedaam karena kita sama-sama ciptaan Tuhan. Suhaeri kemudian menjadi Dosen Universitas Ngurah Rai 1980-1999 dan pernah menunaikan ibadah haji. Meski begitu, ia mengaku masih menyimpan souvenir Alkitab dan Rosario pemberina Romo Blanken hingga kini. Meski berbeda keyakinan, keluarga Suhaeri yang memiliki lima putra dan seorang putri serta 13 cucu ini tampak akur, romantic dan saling memperhatikan. Keduanya saling menjaga meski kini sudah renta. Suhaeri berjalan semakin tertatih tapi kenangan persaudaraan dengan Romo Blanken menjadi modalnya mempraktikkan toleransi dengan tulus hati dari keluarganya.
Ibu Suhaeri tetap Katolik dan rajin ke Gereja, bahkan hampir setiap hari ikut misa harian di gereja. Baginya perbedaan agama bukan untuk memisahkan atau saling menindas, melainkan saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Inilah wujud cinta kasih sesungguhnya. Agama ahnyalah sarana menuju akhirat sehingga sentiment keagamaan atau politik identitas sangat tidak cocok hidup di bumi Pancasila ini. Pengamatan nyata Pancasila telah di praktikkan pasutri ini. Meski beda agama mereka tetap bersatu dan saling mengasihi sampai akhir hayat. Ini bukti rasa kekeluargaan dan keindonesiaan yang utuh (*)